Selasa, 01 Juli 2008

Surat Cintaku

Surat Cinta dari Manusia-Manusia yang Malamnya Penuh Cinta

Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang
"Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh,
dari kejahatan makhluk-Nya,
dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,
dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul,
dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki."
[Q.S. Al Falaq : 1-5]

Wahai orang-orang yang terpejam matanya, Perkenankanlah kami, manusia-manusia malam menuliskan sebuah surat cinta kepadamu. Seperti halnya cinta kami pada waktu malam-malam yang kami rajut di sepertiga terakhir. Atau seperti cinta kami pada keagungan dan rahasianya yang penuh pesona. Kami tahu dirimu bersusah payah lepas tengah hari berharap intan dan mutiara dunia. Namun kami tak perlu bersusah payah, sebab malam-malam kami berhiaskan intan dan mutiara dari surga.

Wahai orang-orang yang terlelap, Sungguh nikmat malam-malammu. Gelapnya yang pekat membuat matamu tak mampu melihat energi cahaya yang tersembunyi di baliknya. Sunyi senyapnya membuat dirimu hanyut tak menghiraukan seruan cinta. Dinginnya yang merasuk semakin membuat dirimu terlena,menikmati tidurmu di atas pembaringan yang empuk, bermesraan dengan bantal dan gulingmu, bergeliat manja di balik selimutmu yang demikian hangatnya. Aduhai kau sangat menikmatinya.

Wahai orang-orang yang terlena, Ketahuilah, kami tidak seperti dirimu !! Yang setiap malam terpejam matanya, yang terlelap pulas tak terkira. Atau yang terlena oleh suasananya yang begitu menggoda. Kami tidak seperti dirimu !! Kami adalah para perindu kamar di surga. Tak pernahkah kau dengar Sang Insan Kamil, Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya di surga itu ada kamar yang sisi luarnya terlihat dari dalam dan sisi dalamnya terlihat dari luar. Disediakan untuk mereka yang memberi makan orang-orang yang memerlukannya, menyebarkan salam serta mendirikan sholat pada saat manusia terlelap dalam tidur malam." Sudahkah kau dengar tadi ? Ya, sebuah kamar yang menakjubkan untuk kami dan orang-orang yang mendirikan sholat pada saat manusia-manusia yang lain tertutup mata dan hatinya.

Wahai orang-orang yang keluarganya hampa cinta, Kau pasti pernah mendengar namaku disebut. Aku Abu Hurairah, Periwayat Hadist. Kerinduanku akan sepertiga malam adalah hal yang tak terperi. Penghujung malam adalah kenikmatanku terbesar. Tapi tahukah kau ? Kenikmatan itu tidak serta merta kukecap sendiri. Kubagi malam-malamku yang penuh syahdu itu menjadi tiga. Satu untukku, satu untuk istriku tercinta dan satu lagi untuk pelayan yang aku kasihi. Jika salah satu dari kami selesai mendirikan sholat, maka kami bersegera membangunkan yang lain untuk menikmati bagiannya. Subhanallah, tak tergerakkah dirimu ? Pedulikah kau pada keluargamu ? Adakah kebaikan yang kau inginkan dari mereka ? Sekedar untuk membangunkan orang-orang yang paling dekat denganmu, keluargamu ?


Lain lagi dengan aku, Nuruddin Mahmud Zanki. Sejarah mencatatku sebagai Sang Penakluk kesombongan Pasukan Salib. Suatu kali seorang ulama tersohor Ibnu Katsir mengomentari diriku, katanya, " Nuruddin itu kecanduan sholat malam, banyak berpuasa dan berjihad dengan akidah yang benar." Kemenangan demi kemenangan aku raih bersama pasukanku. Bahkan pasukan musuh itu terlibat dalam sebuah perbincangan seru. Kata mereka, " Nuruddin Mahmud Zanki menang bukan karena pasukannya yang banyak. Tetapi lebih karena dia mempunyai rahasia bersama Tuhan". Aku tersenyum, mereka memang benar. Kemenangan yang kuraih adalah karena do'a dan sholat-sholat malamku yang penuh kekhusyu'an. Tahukah kau dengan orang yang selalu setia mendampingiku ? Dialah Istriku tercinta, Khotun binti Atabik. Dia adalah istri shalehah di mataku, terlebih di mata Alloh. Malam-malam kami adalah malam penuh kemesraan dalam bingkai Tuhan.

Gemerisik dedaunan dan desahan angin seakan menjadi pernak-pernik kami saat mendung di mata kami jatuh berderai dalam sujud kami yang panjang. Kuceritakan padamu suatu hari ada kejadian yang membuat belahan jiwaku itu tampak murung. Kutanyakan padanya apa gerangan yang membuatnya resah. Ya Alloh, ternyata dia tertidur, tidak bangun pada malam itu, sehingga kehilangan kesempatan untuk beribadah. Astaghfirulloh, aku menyesal telah membuat dia kecewa. Segera setelah peristiwa itu kubayar saja penyesalanku dengan mengangkat seorang pegawai khusus untuknya. Pegawai itu kuperintahkan untuk menabuh genderang agar kami terbangun di sepertiga malamnya.

Wahai orang-orang yang terbuai, Kau pasti mengenalku dalam kisah pembebasan Al Aqso, rumah Allah yang diberkati. Akulah pengukir tinta emas itu, seorang Panglima Perang, Sholahuddin Al-Ayyubi. Orang-orang yang hidup di zamanku mengenalku tak lebih dari seorang Panglima yang selalu menjaga sholat berjama'ah. Kesenanganku adalah mendengarkan bacaan Alqur'an yang indah dan syahdu. Malam-malamku adalah saat yang paling kutunggu. Saat-saat dimana aku bercengkerama dengan Tuhanku. Sedangkan siang hariku adalah perjuangan-perjuangan nyata, pengejawantahan cintaku pada-Nya.

Wahai orang-orang yang masih saja terlena, Pernahkah kau mendengar kisah penaklukan Konstantinopel ? Akulah orang dibalik penaklukan itu, Sultan Muhammad Al Fatih. Aku sangat lihai dalam memimpin bala tentaraku. Namun tahukah kau bahwa sehari sebelum penaklukan itu, aku telah memerintahkan kepada pasukanku untuk berpuasa pada siang harinya. Dan saat malam tiba, kami laksanakan sholat malam dan munajat penuh harap akan pertolongan-Nya. Jika Alloh memberikan kematian kepada kami pada siang hari disaat kami berjuang, maka kesyahidan itulah harapan kami terbesar. Biarlah siang hari kami berada di ujung kematian, namun sebelum itu, di ujung malamnya Alloh temukan kami berada dalam kehidupan. Kehidupan dengan menghidupi malam kami.

Wahai orang-orang yang gelap mata dan hatinya, Pernahkah kau dengar kisah Penduduk Basrah yang kekeringan ? Mereka sangat merindukan air yang keluar dari celah-celah awan. Sebab terik matahari terasa sangat menyengat, padang pasir pun semakin kering dan tandus. Suatu hari mereka sepakat untuk mengadakan Sholat Istisqo yang langsung dipimpin oleh seorang ulama di masa itu. Ada wajah-wajah besar yang turut serta di sana, Malik bin Dinar, Atho' As-Sulami, Tsabit Al-Bunani. Sholat dimulai, dua rakaat pun usai. Harapan terbesar mereka adalah hujan-hujan yang penuh berkah. Namun waktu terus beranjak siang, matahari kian meninggi, tak ada tanda-tanda hujan akan turun. Mendung tak datang, langit membisu, tetap cerah dan biru. Dalam hati mereka bertanya-tanya, adakah dosa-dosa yang kami lakukan sehingga air hujan itu tertahan di langit ? Padahal kami semua adalah orang-orang terbaik di negeri ini ? Sholat demi sholat Istisqo didirikan, namun hujan tak kunjung datang.

Hingga suatu malam, Malik bin Dinar dan Tsabit Al Bunani terjaga di sebuah masjid. Saat malam itulah, aku, Maimun, seorang pelayan, berwajah kuyu, berkulit hitam dan berpakaian usang, datang ke masjid itu. Langkahku menuju mihrab, kuniatkan untuk sholat Istisqo sendirian, dua orang terpandang itu mengamati gerak gerikku. Setelah sholat, dengan penuh kekhusyu'an kutengadahkan tanganku ke langit, seraya berdo'a : "Tuhanku, betapa banyak hamba-hamba-Mu yang berkali-kali datang kepada-Mu memohon sesuatu yang sebenarnya tidak mengurangi sedikitpun kekuasaan-Mu. Apakah ini karena apa yang ada pada-Mu sudah habis ? Ataukah perbendaharaan kekuasaan-Mu telah hilang ? Tuhanku, aku bersumpah atas nama-Mu dengan kecintaan-Mu kepadaku agar Engkau berkenan memberi kami hujan secepatnya." Lalu apa gerangan yang terjadi ? Angin langsung datang bergemuruh dengan cepat, mendung tebal di atas langit. Langit seakan runtuh mendengar do'a seorang pelayan ini. Do'aku dikabulkan oleh Tuhan, hujan turun dengan derasnya, membasahi bumi yang tandus yang sudah lama merindukannya.

Malik bin Dinar dan Tsabit Al Bunani pun terheran-heran dan kau pasti juga heran bukan ? Aku, seorang budak miskin harta, yang hitam pekat, mungkin lebih pekat dari malam-malam yang kulalui. Hanya manusia biasa, tapi aku menjadi sangat luar biasa karena doaku yang makbul dan malam-malam yang kupenuhi dengan tangisan dan taqarrub pada-Nya.

Wahai orang-orang yang masih saja terpejam, Penghujung malam adalah detik-detik termahal bagiku, Imam Nawawi. Suatu hari muridku menanyakan kepadaku, bagaimana aku bisa menciptakan berbagai karya yang banyak ? Kapan aku beristirahat, bagaimana aku mengatur tidurku ? Lalu kujelaskan padanya, "Jika aku mengantuk, maka aku hentikan sholatku dan aku bersandar pada buku-bukuku sejenak. Selang beberapa waktu jika telah segar kembali, aku lanjutkan ibadahku." Aku tahu kau pasti berpikir bahwa hal ini sangat sulit dijangkau oleh akal sehatmu. Tapi lihatlah, aku telah melakukannya, dan sekarang kau bisa menikmati karya-karyaku.

Wahai orang-orang yang tergoda, Begitu kuatkah syetan mengikat tengkuk lehermu saat kau tertidur pulas ? Ya, sangat kuat, tiga ikatan di tengkuk lehermu !! Dia lalu menepuk setiap ikatan itu sambil berkata, "Hai manusia, Engkau masih punya malam panjang, karena itu tidurlah !!". Hei, Sadarlah, sadarlah, jangan kau dengarkan dia, itu tipu muslihatnya ! Syetan itu berbohong kepadamu. Maka bangunlah, bangkitlah, kerahkan kekuatanmu untuk menangkal godaannya. Sebutlah nama Alloh, maka akan lepas ikatan yang pertama. Kemudian, berwudhulah, maka akan lepas ikatan yang kedua. Dan yang terakhir, sholatlah, sholat seperti kami, maka akan lepaslah semua ikatan-ikatan itu.

Wahai orang-orang yang masih terlelap, Masihkah kau menikmati malam-malammu dengan kepulasan ? Masihkah ? Adakah tergerak hatimu untuk bangkit, bersegera, mendekat kepada-Nya, bercengkerama dengan-Nya, memohon keampunan-Nya, meski hanya 2 rakaat ? Tidakkah kau tahu, bahwa Alloh turun ke langit bumi pada 1/3 malam yang pertama telah berlalu. Tidakkah kau tahu, bahwa Dia berkata, "Akulah Raja, Akulah Raja, siapa yang memohon kepada-Ku akan Kukabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku akan Kuberi, dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku akan Ku ampuni. Dia terus berkata demikian, hingga fajar merekah.

Wahai orang-orang yang terbujuk rayu dunia, Bagi kami, manusia-manusia malam, dunia ini sungguh tak ada artinya. Malamlah yang memberi kami kehidupan sesungguhnya. Sebab malam bagi kami adalah malam-malam yang penuh cinta, sarat makna. Masihkah kau terlelap ? Apakah kau menginginkan kehidupan sesungguhnya ? Maka ikutilah jejak kami, manusia-manusia malam. Kelak kau akan temukan cahaya di sana, di waktu sepertiga malam. Namun jika kau masih ingin terlelap, menikmati tidurmu di atas pembaringan yang empuk, bermesraan dengan bantal dan gulingmu, bergeliat manja di balik selimutmu yang demikian hangatnya, maka surat cinta kami ini sungguh tak berarti apa-apa bagimu. Semoga Alloh mempertemukan kita di sana, di surga-Nya, mendapati dirimu dan diri kami dalam kamar-kamar yang sisi luarnya terlihat dari dalam dan sisi dalamnya terlihat dari luar.

Semoga...

Gerakan Moral Mahasiswa

GERAKAN MORAL MAHASISWA

Oleh : Awang Darmawan


Menilik fase sejarah bangsa, gerakan mahasiswa merupakan gerbong setiap perubahan di negeri ini. Diakui atau tidak, setiap kali terjadi perubahan, gerakan mahasiswa selalu mengambil posisi penting garda depan dan setiap kali itu pula gerakan mahasiswa selalu ketinggalan gerbong dalam menikmati upeti perjuangannya. Tengoklah perjalanan idelogis Soe yang telah rela mewakafkan dirinya untuk melakukan revolusi besar-besaran di internal pemerintahan Indonesia saat itu. Namun, akhirnya Gie meninggal di tengah keterasingannya. Ini ironi sekaligus nestapa.

Gerakan Mahasiswa telah membuktikan eksistensinya sebagai kekuatan oposisi sejati dan gemilang dalam melakukan represi terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang dan zalim. Geliat politik yang dilakukan dapat dimaknai sebagai manifestasi murni tanpa target kekuasaan atau material.

Telah terukir dalam sejarah bahwa gerakan mahasiswa memberikan sumbangsi berharga bagi pergerakan bangsa ini menuju kemerdekaan. Ingatan kita pun tertuju pada ide brilian yang dilahirkan Dr. Sutomo dan kawan-kawan dengan mendirikan Boedi Oetomo pada 1908. Organisasi pun ini menjadi tonggak kemunculan pergerakan nasional. Peran signifikan juga diambil mahasiswa dalam pelaksanaan Sumpah Pemuda 1928. Dan yang takkan terlupakan mungkin oleh penulis ketika rezim orde baru kemudian di”mati”kan oleh para kaum muda intelektual di seantero penjuru Indonesia dengan pengorganisiran kekuatan yang solid dan terbukti mampu ”menumbangkan” Soeharto dari tahta kepresidenannya saat itu.

Secara komprehensif, sebenarnya ada beberapa faktor yang mendorong pelecutan gerakan mahasiswa dan pemuda. Pertama, kondisi rakyat yang semakin meprihatinkan di bawah kepemimpinan yang dianggap telah gagal mengawal amanat rakyat sehingga mahasiswa mencoba melakukan peranannya sebagai social control. Kedua, kebijakan-kebijakan yang ditempuh pemerintah yang dinilai terlalu banyak merugikan elemen masyarakat -semau perutnya sendiri- terutama kaum termarginalkan. Karena kebijakan ini, pengangguran semakin membengkak, jurang antara kaya dan miskin semakin menganga lebar, monopoli ekonomi semakin dirasakan di beberapa sektor, tidak adanya ruang diskursus antara yang diatas dan yang dibawah, ketidakadilan ekonomi yang semakin nyata ini yang menjadi mandat bagi mahasiswa untuk turun melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Ketiga, gerakan mahasiswa merupakan gejala global sehingga dianggap perlu ada komponen yang dapat mengeliminir efek dari globalisasi yang memiliki ruh kapitalisme, neoliberalisme dan pragmatisme. Hal ini kemudian membuat mahasiswa mendeklarasikan dirinya sebagai the agent of chage.

Pendek kata, keprihatinan terhadap realitas sosial yang membuat tumbuh suburnya gelora semangat mahasiswa dan berupaya untuk tetap kritis melihat ketimpangan yang ada.

Namun, ketika masa demokrasi liberal berjalan terasa aksi mahasiswa lambat laun mulai meredup. Fischer mengemukakan, kesadaran akan perannya sebagai the future elite memberikan perasaan aman pada mahasiswa. Di samping sebagian dari mereka pejuang bersenjata yang menganggap tugas belajar sebagai noblesse oblige untuk mengejar ketertinggalan. Situasi demikian berlanjut hingga pada sandyakalaning demokrasi liberal. Para mahasiswa kemudian terjebak pada rutinitas memperkaya diri dengan ilmu-ilmu praktis yang semakin memisahkan mahasiswa dari realitas sosialnya. Begitu seterusnya hingga menjelang saat-saat dimana masa bulan madu Gus Dur-Mega berakhir. Di kalangan mahasiswa terjadi fragmentasi kepentingan politik yang begitu luar biasa baik yang terakomodasi di dalam lembaga-lembaga formal kemahasiswaan (Badan Eksekutif Mahasiswa) maupun yang menjelmakan diri ke dalam organ-organ taktis.

Hal ini pun berdampak pada polarisasi gerakan mahasiswa. Polarisasi yang demikian jelas semakin menjauhkan penemuan kembali gerakan mahasiswa yang berada pada satu platform sebagai gerakan moral yang berdiri di atas kepentingan kelompok atau golongan tertentu.

Gerakan mahasiswa kembali menemukan bentuk ketika kekuasaan terpusat pada Soekarno dengan Demokrasi Terpimpin. Tambahan lagi dengan meletusnya Gestapu 1965 yang disebut Geertz sebagai bukti kedalaman dissensus, ambivalensi, disorientasi masyarakat Indonesia.

Dengan sokongan militer, mahasiswa lewat KAMI dan KAPPI dapat memaksa Soekarno jatuh dan membuang jauh-jauh PKI. Akhirnya muncullah sebuah ilusi berupa koalisi mahasiswa dengan militer. Namun dalam waktu cepat, ilusi berubah menjadi disilusi, hanya dua tahun setelah demonstrasi digelar pada 1966. (M Aziz Hakim, 2001) Setelah angkatan ini, lahir kembali gerakan mahasiswa awal 1970-an. Yakni mereka (mahasiswa) yang lahir setelah kemerdekaan.

Kebangkitan

Sudah saatnya gerakan mahasiswa kembali menemukan bentuk. Seyogyanya ketimpangan yang terjadi mampu mengilhami kebersatuan kembali gerakan mahasiswa. Perasaan senasib dan seperjuangan mesti berwujud pada terciptanya koridor kaum muda yang kritis dan peka terhadap realitas sosial. Pembelaan, penyadaran dan pemberdayaan mesti segera digalakkan untuk menghentikan gejolak kaum tua yang semakin menjadi-jadi. Integrasi pemikiran dan ide-ide seharusnya mewarnai aktivitas-aktivitas kampus.

Perlu adanya langkah strategis untuk memetakan gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral yang tetap setia kepada perjuangan nasional untuk keadilan serta penuntasan agenda kerakyatan, yang perlu dilakukan bersama, pertama, mendorong agenda konsolidasi nasional di tingkat elite politik dan masyarakat untuk mencegah disintegrasi sosial dan bangsa. Kedua, mendorong konsolidasi demokrasi. Ketiga, mendorong konsolidasi kerakyatan.

Dalam proses konsolidasi demokrasi ini kemudian mahasiswa hendaknya dapat menempatkan diri sebagai pilar terhadap seluruh alat kekuasaan negara baik lembaga tinggi maupun lembaga tertinggi negara.

Maka yang seharusnya dilakukan tetap konsisten sebagai penyeru moral dan penjaga utama demokrasi serta mengeliminasi polarisasi gerakan.

Disampaikan pada Pemilu Raya Republik FKIP UNISMUH Makassar

Auditorium Al-Amien, 2007

GERAKAN MAHASISWA SEBAGAI GERAKAN PEMBERDAYAAN
Oleh : Awang Darmawan

Diskurkus tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir sepanjang tahun. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula pelbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks keperduliannya dalam meresponi masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat.

Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa --- sebagai perpanjangan aspirasi rakyat ---- dalam situasi yang demikian itu memang amat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi vis a vis penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas keperduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya.

Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Saking begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakkan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.

Alasan utama menempatkan mahasiswa beserta gerakannya secara khusus dalam tulisan singkat ini lantaran kepeloporannya sebagai "pembela rakyat" serta keperduliannya yang tinggi terhadap masalah bangsa dan negaranya yang dilakukan dengan jujur dan tegas. Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik mahasiswa yang telah memberikan konstribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya. Oleh karenanya, penulis menyadari bahwa deskripsi singkat dalam artikel ini belum seutuhnya menggambarkan korelasi positif antara pemihakan terhadap ideologi tertentu dengan kepeloporan yang dimiliki dalam menengahi konflik yang ada. Mungkin bisa dikatakan artikel ini lebih banyak mengacu pada refleksi diskursus-diskursus politik kekuasaan otoritarian Orde Baru yang sengit dilakukan di kalangan aktifis mahasiswa dalam dekade 90-an. Di mana sebagian besar gerakan-gerakan mahasiswa yang terjadi kala itu, penulis ikut terlibat di dalamnya. Tentunya, pendekatan analisis dalam artikel ini lebih mengacu pada gerakan mahasiswa pro-demokrasi jauh sebelum maraknya gerakan mahasiswa dalam satu tahun terakhir ini, yang akhirnya mengantarkan pada pengunduran diri Presiden Soeharto.

Pemihakan terhadap ideologi tertentu dalam gerakan mahasiswa memang tak bisa dihindari. Pasalnya, pada diri mahasiswa terdapat sifat-sifat intelektualitas dalam berpikir dan bertanya segala sesuatunya secara kritis dan merdeka serta berani menyatakan kebenaran apa adanya. Maka, diskursus-diskursus kritis seputar konstelasi politik yang tengah terjadi kerap dilakukan sebagai sajian wajib yang mesti disuguhkan serta dianggap sebagai tradisi yang melekat pada kehidupan gerakan mahasiswa.

Pada mahasiswa kita mendapatkan potensi-potensi yang dapat dikualifikasikan sebagai modernizing agents. Praduga bahwa dalam kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan transforman sosial berupa label-label penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa inilah terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama (kalau tidak melulu) didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas. Kelompok ini bukan saja haus edukasi, akan tetapi berhasrat sekali untuk meneruskan dan menerapkan segera hasil edukasinya itu, sehingga pada gilirannya mereka itu sendiri berfungsi sebagai edukator-edukator dengan cara-caranya yang khas".

Masa selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah pikiran, sikap, dan persepsi mereka dalam merumuskan kembali masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. Kemandegan suatu ideologi dalam memecahkan masalah yang terjadi merangsang mahasiswa untuk mencari alternatif ideologi lain yang secara empiris dianggap berhasil. Maka tak jarang, kajian-kajian kritis yang kerap dilakukan lewat pengujian terhadap pendekatan ideologi atau metodologis tertentu yang diminati. Tatkala, mereka menemukan kebijakan publik yang dilansir penguasa tidak sepenuhnya akomodatif dengan keinginan rakyat kebanyakan, bagi mahasiswa yang committed dengan mata hatinya, mereka akan merasa "terpanggil" sehingga terangsang untuk bergerak.

Dalam kehidupan gerakan mahasiswa terdapat adagium patriotik yang bakal membius semangat juang lebih radikal. Semisal, ungkapan "menentang ketidakadilan dan mengoreksi kepemimpinan yang terbukti korup dan gagal" lebih mengena dalam menggugah semangat juang agar lebih militan dan radikal. Mereka sedikit pun takkan ragu dalam melaksanakan perjuangan melawan kekuatan tersebut. Pelbagai senjata ada di tangan mahasiswa dan bisa digunakan untuk mendukung dalam melawan kekuasaan yang ada agar perjuangan maupun pandangan-pandangan mereka dapat diterima. Senjata-senjata itu, antara lain seperti; petisi, unjuk rasa, boikot atau pemogokan, hingga mogok makan. Dalam konteks perjuangan memakai senjata-senjata yang demikian itu, perjuangan gerakan mahasiswa --- jika dibandingkan dengan intelektual profesional ---- lebih punya keahlian dan efektif.

Kedekatannya dengan rakyat terutama diperoleh lewat dukungan terhadap tuntutan maupun selebaran-selebaran yang disebarluaskan dianggap murni pro-rakyat tanpa adanya kepentingan-kepentingan lain meniringinya. Adanya kedekatan dengan rakyat dan juga kekauatan massif mereka menyebabkan gerakan mahasiswa bisa bergerak cepat berkat adanya jaringan komunikasi antar mereka yang aktif ( ingat teori snow bowling)..

Oleh karena itu, sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan gerakan mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan politik pada suatu negara. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno di Indonesia tahun 1966, Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan Soeharto di Indonesia tahun 1998. Akan tetapi, walaupun sebagian besar peristiwa pengulingan kekuasaan itu bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa sampai akhirnya tercipta gerakan revolusioner. Namun, gerakan mahasiswa lewat aksi-aksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi katalisator yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan tirani.

Agama Menghadapi Perubahan Nilai

Agama Menghadapi Perubahan Nilai
Oleh : Awang Darmawan


Era informasi dan globalisasi sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah berdampak hampir ke semua aspek kehidupan masyarakat.
Susanto (1998:109) menyebutkan, perubahan masyarakat akibat berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut membawa dampak yang besar pada budaya, nilai, dan agama. Nilai-nilai yang sementara ini dipegang kuat oleh masyarakat mulai bergeser dan ditinggalkan. Sementara nilai-nilai yang menggantikannya tidak selalu sejalan dengan landasan kepercayaan atau keyakinan masyarakat, sehingga penyimpangan nilai kian subur dan berkembang.

Dalam situasi seperti ini, remaja dan mahasiswa yang sedang berada dalam kondisi psikologis yang labil menjadi korban pertama sebagaimana terjadi dalam berbagai kasus hedonisme, konsumerisme, hingga peningkatan kenakalan remaja dan narkotika. Hal ini semakin membuktikan bahwa nilai-nilai hidup tengah bergeser sehingga membingungkan para remaja, menjauhkan mereka dari sikap manusia yang berkepribadian (Poespoprodjo,1988:45).

Laporan hasil polling Indonesia Foundation (Pikiran Rakyat,29/7 2005) menyebutkan, sedikitnya 38.288 orang remaja di Kabupaten Bandung diduga pernah melakukan seks pranikah. Jika jumlah remaja di Kabupaten Bandung mencapai 765.762 orang, mereka yang telah melakukan pelanggaran seksual sebesar 50,56%. Deputi Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KBKR) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat Dr. Siswanto Agus Wilopo, S.U., M.Sc., Sc.D. sebagaimana dilaporkan Pikiran Rakyat (Bandung, 6 April 2006) mengatakan, aborsi di Indonesia terjadi 2-2,6 juta kasus per tahun dan dilakukan oleh penduduk usia 15-24 tahun. Selanjutnya ia menyarankan bahwa upaya preventif yang paling mendasar untuk mencegah aborsi oleh remaja dapat dilakukan melalui pengajaran norma-norma, budi pekerti, agama, dan moralitas yang bertanggung jawab dalam perilaku seksual.

Laporan tersebut menunjukkan, bahwa remaja kita, khususnya para pelajar dan mahasiswa sedang mengalami proses kegalauan nilai yang parah di mana pendidikan sebagai pembinaan nilai dan moral dituntut untuk dapat menanggulangi dan mengantisipasinya sehingga masa depan bangsa dapat diselamatkan. Berbagai fenomena pelanggaran moral di kalangan pelajar dan mahasiswa membuat khawatir sebagian besar masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Pendidikan moral yang selama ini menjadi garapan pendidikan dalam keluarga mulai dirasakan hampa makna, mengingat orang tua tenggelam dalam kesibukannya masing-masing. Sementara sekolah dan perguruan tinggi, padat dengan pencapaian tujuan kurikulum yang menonjolkan aspek kognitif. Output pendidikan lebih banyak menghasilkan pengetahuan, tetapi tidak mampu menghadapi tantangan hidup dan kehidupan (survive). Standar moral dan spiritual anak nyaris tanpa sentuhan, sehingga nilai dan norma yang tertanam pada diri anak hanya sesuatu yang absurd.

Rendahnya pendidikan masyarakat, sistem pendidikan yang tidak mapan, struktur ekonomi yang keropos, serta jati diri bangsa yang belum terinternalisasikan, menjadikan bangsa rentan terhadap nilai-nilai baru yang datang dari luar. Nilai-nilai Barat yang sebagian berseberangan dengan nilai-nilai ketimuran dengan mudah diadopsi, terutama oleh generasi muda. Nilai yang mudah ditiru pada umumnya adalah nilai-nilai yang berisi kesenangan, permainan, dan hedonisme yang sering kali membawa dampak buruk. Sebaliknya, nilai-nilai positif dari Barat seperti kecerdasan dan kemajuan iptek tidak dicerap dengan baik. Menghadapi persoalan tersebut, di kalangan ahli pendidikan sepakat untuk membina dan mengembangkan pendidikan nilai, moral, dan norma.

Nilai adalah patokan normatif yang memengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif (Kupperman, 1983). Nilai dilihat dalam posisinya adalah subjektif, yakni setiap orang sesuai dengan kemampuannya dalam menilai sesuatu fakta cenderung melahirkan nilai dan tindakan yang berbeda. Dalam lingkup yang lebih luas, nilai dapat merujuk kepada sekumpulan kebaikan yang disepakati bersama. Ketika kebaikan itu menjadi aturan atau menjadi kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur dalam menilai sesuatu, maka itulah yang disebut norma. Jadi nilai adalah harga yang dituju dari sesuatu perilaku yang sesuai dengan norma yang disepakati. Sedangkan moral adalah kebiasaan atau cara hidup yang terikat pada pertanggungjawaban seseorang terhadap orang lain sehingga kebebasan dan tanggung jawab menjadi syarat mutlak.

Nilai, moral, dan norma merujuk kepada kesepakatan dari suatu masyarakat. Karena itu, nilai, moral, dan norma akan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat (relatif). Agama dipandang sebagai sumber nilai karena agama berbicara baik dan buruk, benar, dan salah. Demikian pula, agama Islam memuat ajaran normatif yang berbicara tentang kebaikan yang seyogianya dilakukan manusia dan keburukan yang harus dihindarkannya. Islam memandang manusia sebagai subjek yang paling penting di muka bumi sebagaimana diungkapkan Alquran (Q.S. 45:13) bahwa Allah menundukkan apa yang ada di langit dan di bumi untuk manusia. Sedangkan ketinggian kedudukan manusia terletak pada ketakwaannya, yakni aktivitas yang konsisten kepada nilai-nilai Ilahiah yang diimplementasikan dalam kehidupan sosial.

Dilihat dari asal datangnya nilai, dalam perspektif Islam terdapat dua sumber nilai, yakni Tuhan dan manusia. Nilai yang datang dari Tuhan adalah ajaran-ajaran tentang kebaikan yang terdapat dalam kitab suci. Nilai yang merupakan firman Tuhan bersifat mutlak, tetapi implementasinya dalam bentuk perilaku merupakan penafsiran terhadap firman tersebut bersifat relatif.

Menelusuri makna nilai dalam perspektif Islam dapat dikemukakan konsep-konsep tentang kebaikan yang ditemukan dalam Alquran. Beberapa istilah dalam Alquran yang berkaitan dengan kebaikan, yaitu alhaq dan al-ma'ruf serta lawan kebaikan yang diungkapkan dalam istilah albathil, dan almunkar. Haq atau alhaq menurut pengertian bahasa adalah truth; reality; rightness, correctness; certainty, certitude dan real, true; authentic, genuine; right, correct, just, fair; sound, valid.

Alhaq diulang dalam Alquran sebanyak 109 kali. Alhaq mengandung arti kebenaran yang datang dari Allah, sesuatu yang pasti seperti datangnya hari akhir, dan lawan dari kebatilan. Alhaq dalam Alquran dikaitkan dengan Alquran sebagai bentuk sumber dan Muhammad sebagai pembawa yang menyampaikannya kepada manusia. Haq adalah kebenaran yang bersifat mutlak dan datang dari Tuhan melalui wahyu. Manusia diminta untuk menerima dengan tidak ragu-ragu mengenai kebenaran nilai tersebut (Q.S. 2:147). Haq bersifat normatif, global, dan abstrak sehingga memerlukan penjabaran sehingga dapat dilaksanakan secara operasional oleh manusia.

Sejalan dengan perkembangan budaya dan pola berpikir masyarakat yang materialistis dan sekularis, maka nilai yang bersumberkan agama belum diupayakan secara optimal. Agama dipandang sebagai salah satu aspek kehidupan yang hanya berkaitan dengan aspek pribadi dan dalam bentuk ritual, karena itu nilai agama hanya menjadi salah satu bagian dari sistem nilai budaya; tidak mendasari nilai budaya secara keseluruhan.

Pelaksanaan ajaran agama dipandang cukup dengan melaksanakan ritual agama, sementara aspek ekonomi, sosial, dan budaya lainnya terlepas dari nilai-nilai agama penganutnya atau dengan kata lain pelaksanaan ritual agama (ibadah) oleh seseorang terlepas dari perilaku sosialnya. Padahal, ibadah itu sendiri memiliki nilai sosial yang harus melekat pada orang yang melaksanakannya, misalnya orang yang salat ditandai dengan perilaku menjauhkan dosa dan kemunkaran, puasa mendorong orang untuk sabar, tidak emosional, tekun, dan tahan uji.

Aktualisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan sekarang ini menjadi sangat penting terutama dalam memberikan isi dan makna kepada nilai, moral, dan norma masyarakat. Apalagi pada masyarakat Indonesia yang sedang dalam masa pancaroba ini. Aktualisasi nilai dilakukan dengan mengartikulasikan nilai-nilai ibadah yang bersifat ritual menjadi aktivitas dan perilaku moral masyarakat sebagai bentuk dari kesalehan sosial

Kamis, 13 Desember 2007

Refleksi Matahari Senja
Oleh : Awang Darmawan*


Aku belum tahu apa hakikat keMahasiswaan
yang sebenarnya!
Aku baru tahu itu menurut Teman, Senior,
Bu Lina,...menurut yang lainnya!
Terus terang aku belum puas.
Yang kucari belum kutemukan.
Mahasiswa dalam makna sejatinya,
Mahasiswa yang sesuai dengan khittah perjuangannya.
Akan kucari...Tapi orang-orang mengatakan bahwa hakikat keMahasiswaan yang kutemukan
adalah menurut aku Sendiri..
ah, biarlah
yang penting kuat dalam keyakinanku bahwa hakikat keMahasiswaan yang kupahami adalah
hakikat yang sesungguhnya
Ya.., ku harus yakin.
(Awank)


Dua alasan mengapa tulisan ini ada Pertama, tulisan ini hadir sebagai refleksi kritis terhadap prosesi penerimaan mahasiswa baru di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Fisika Universitas Muhammadiyah Makassar yang baru saja usai sekaligus kado ucapan terima kasih kepada seluruh kakanda di HMJ Fisika yang diharapkan tulisan ini mampu memberikan konstribusi yang signifikan terhadap perubahan konstruk berfikir kanda senior kita di HMJ Fisika. Kedua, Tulisan ini meskipun tidak sistematis dan ditulis secara bebas -dan masih banyak kekurangan di dalamnya- tentu saja memiliki semangat dan mengandung pesan yang ingin dikomunikasikan pada siapa saja yang membacanya. Secara implisit pesan dalam tulisan ini sedikit-banyaknya memuat tentang keresahan dan kekhawatiran penulis terhadap realitas yang ada selama ini di lingkup kelembagaan mahasiswa terutama di HMJ Fisika sekaligus mengajak kawan-kawan agar turut reflektif dan mengevaluasi perjalanan kita di Universitas Muhammadiyah Makassar walaupun pengembaraan panjang baru saja kita mulai. Tidak lain dalam rangka mengusung perbaikan dan pembenahan secara produktif dengan didasari pada kerangka komitmen kita sebagai seorang mahasiswa yang senantiasa diharapkan mampu melakukan rekonstruksi terhadap realitas yang ada. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan pada saat ini agar seluruh kakanda senior maupun teman-teman Mahasiswa Baru di Jurusan Fisika untuk membuka diri dan merenungkan apa yang sebenarnya menjadi hakikat keberMahasiswaan kita ketika menyandang predikat yang namanya Mahasiswa, tawwaa.. Penulis mengharapkan seluruh elemen mahasiswa Fisika mampu menyatukan persepsi, mengitegrasikan pemikiran, dan saling berelaborasi ide guna menyelami ragam persoalan yang menurut penulis sifatnya radikal.
Penulis memahami jika kita merunut secara menyeluruh persoalan demi persoalan di Himpunan Mahasiswa Jurusan Fisika akan hadir sederetan masalah yang kompleks dan saling korelasi antara satu dengan yang lainnya baik persoalan itu diterawang dari sisi internal maupun pada dimensi eksternal. Akan tetapi ada seperangkat masalah yang rupanya dapat disudahi dengan kreatifitas individu juga ada pula uraian masalah yang sesungguhnya harus disikapi secara kolektif-kelembagaan.

Perkaderan Mesti Transformatif
Pertama, problem internal yang turut andil menciptakan carut marut bagi gerakan mahasiswa hari ini adalah kurangnya proporsionalitas perkaderan yang dilakukan di setiap level tingkatan. Sedikit merefleksi ke belakang mencoba menelaah prosesi Bina Akrab yang dilakukan oleh kakanda kita di HMJ FISIKA yang berlangsung di Benteng Somba Opu-ternyata tak satupun indikator keberhasilan atau apa yang diinginkan bersama itu mampu tercapai. Jangankan kesadaran kritis yang harus dibangun sebagai pondasi awal dalam berlembaga bahkan pemahaman tentang materi yang disuguhkan pun belum tercapai. Juga disorientasi perkaderan sehingga tidak ada visi yang jelas, untuk apa perkaderan ini dilaksanakan. Hal ini tentu disebabkan oleh sistematika perkaderan yang dilakukan oleh kanda kita di HMJ adalah sistem pendidikan yang tidak memanusiakan manusia. Mengapa saya katakan demikian, karena indikator-indikator pendidikan yang partisipatif tak satupun direalisasikan. Warga belajar diambil hak-hak asasinya sehingga terkesan kanda senior menindas teman-teman MaBa, walaupun sebelumnya telah terbangun kesepakan untuk tidak melakukan kekerasan dan penindasan. Tapi, hemat saya itu adalah sebuah penindasan yang berkedok sistem-apalagi berapologi, atau bisa dikatakan menjustifikasi-untuk membiasakan diri teman-teman Maba mengalami hal yang serupa. Ditambah dengan suasana pembelajaran yang tidak partisipatif, nyaman, dan menyenangkan sehingga efektifitas yang diharapkan dalam pencapaian pemahaman materi tidak tercapai. Senior !, zaman telah berubah dan kedewasaan pun bertambah, saatnya kita menyudahi sistem pendidikan yang bersifat menindas dan tidak mendidik. Sudah saatnya kita membimbing pikiran dengan kekuatan kebenaran bukan membelenggunya dengan kekerasan. Merubahnya dari sistem pendidikan andragogy menjadi sistem pendidikan paedagogy dengan prinsip partisipatory learningnya.
Memilukan memang, apalagi fenomena ini dirasakan hampir di seluruh himpunan mahasiswa. Jika hal ini terus berlanjut, maka jangan harap ke depan akan lahir Che Guevara Muda yang mampu melawan arus ”tsunami” kapitalisme global, yang mampu bernas ketika yang tua mulai tersesat dan tenggelam dalam budaya pragmatis. Namun harus disadari kalau persoalan ini tidak dipicu oleh satu faktor an sich tetapi multisebab. Saatnya mungkin untuk kita merenung diri, apakah sistem yang selama ini dilakukan sudah mampu melahirkan kesadaran kritis dalam diri kita semua? Apakah semua yang kita lakukan telah memberikan hasil yang diinginkan? Kalau kita belum mampu memberikan sentuhan makna dan menciptakan atmosfir ideologis atau kondisi sesuai dengan harapan dan kebutuhan yang diharapkan maka tidak ada alasan untuk defensif, berapologi, mempertahankan ”kultur” yang ada. Apalagi berpindah alih menyalahkan teman-teman kita yang kritis melihat ketimpangan yang ada.

Kedewasaan Berlembaga
Kedua, nampaknya mulai detik ini kita mesti inklusif dan merefleksikan diri berusaha serta terus belajar terutama kedewasaan dalam mengawal lembaga keMahasiswaan yang kita cintai bersama. Masih jelas di benak saya ketika ketidakdewasaan berlembaga itu ditunjukkan oleh salah seorang senior kita ketika menerima kritikan dari seorang Maba. Hal itu sebenarnya tidak perlu dilakukan karena jelas akan berdampak negatif terutama dapat membunuh karakter sang Maba. Padahal sebenarnya, kritikan itu lumrah adanya yang penting hal itu bersifat konstruktif. Mahasiswa Baru ini bukanlah orang yang berjalan di tengah kegelapan malam jadi sudah menjadi sunnatullah jika mereka mencoba mencari kebenaran yang diinginkan. Olehnya, sebagai seorang mahasiswa yang peduli terhadap kondisi sudah saatnya mungkin kita merefleksi dan berbenah diri. Benarkah HMJ kita selama ini telah menjadi tenda besar yang sanggup mengakomodir gejolak dan kecenderungan nilai serta kreatifitas kejiwaan dari teman-teman yang notabene berasal dari daerah yang berbeda yang tentu membawa ragam corak yang berbeda pula?

Nasib ”The Agent of Change”
Ketiga, Cita-cita untuk memerankan ”The Agent of Change” dan ”Sosial Control” yang dilandasi dengan kesadaran kritis sebagai ikon paradigmatik gerakan mahasiswa menemui kebuntuan dalam praksis gerakannya. Rupanya kita harus mengakui bahwa ideologi yang telah terbangun dengan kerangka konseptualnya belum dapat membuana secara massif. Sehingga banyak diantara kita tak tahu menahu tentang peran sosial seorang mahasiswa. Tentu hal ini berimplikasi pada kekakuan menafsir ketimpangan yang dialami oleh bangsa kita saat ini. Sangat terasa kalau keberMahasiswaan kita akhir-akhir ini masih terjebak oleh kecenderungan simbolis namun gagal memberi sentuhan idiologis terhadap aktivisme berlembaga yang menyebabkan para mahasiswa hanya bisa menjadi ”EO” saja tanpa pernah mau menjalankan peran sosialnya sebagai elemen pembaharu.
Bukan apa, diskursus tentang hal tersebut memang masih belum diterjemahkan secara intensif, justru menjadi barang mahal dan tidak populis. Olehnya, konsepsi ideologis seorang Mahasiswa secepatnya harus diobral dengan cara dan jalan apapun agar dapat dipahami, terinternalisasi kemudian diolah-terjemahkan dalam praksis gerakan terutama di setiap event-event perkaderan, supaya hal ini tidak lagi sekedar jargon “gagah-gagahan” yang di publikasikan lewat spanduk-spanduk kegiatan dan enteng diucapkan ketika berdemonstrasi tanpa memahami substansi yang tersirat.

Ada yang hilang dari Mahasiswa..!
Keempat, akhir-akhir ini mahasiswa sepertinya kehilangan semangat dan konsistensi dalam menggiatkan tradisi keilmuan dan ragam aktivitas lain yang bernilai konstruktif. Sangat terasa kalau belakangan ini sebagian besar mahasiswa sudah semakin jauh dari kebiasaan membaca apalagi menyisihkan waktu untuk menulis. Aktivitas kajian, diskusi dan pengajian pun tidak lagi dipandang sebagai proses yang berharga. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa penghargaan kita terhadap ilmu pengetahuan semakin memudar? Mengapa kita lebih senang berimajinasi daripada beraksi? Mengapa semangat kita untuk memproduksi terganti dengan kebiasaan mengkomsumsi? Mengapa kita lebih senang mengimitasi daripada berkreasi? Mengapa kita lebih mau mendengar daripada berbicara? Ada apa sesungguhnya dengan kita semua? Mengapa kita seolah semakin pelit berpikir tentang Kemajuan Gerakan Mahasiswa? Mengapa kita terlalu kikir menyisihkan beberapa rupiah hanya untuk membeli buku? Mengapa kita ogah menyisihkan waktu tenaga dan pikiran kita beberapa jam untuk membaca atau bahkan menulis? Mengapa masih banyak diantara kita yang memaknai bahwa tugas mahasiswa hanya bolak balik kampus dan menyelesaikan tugas yang diberikan dosen an sich?
Saya yakin, kita adalah orang-orang yang masih sehat dan waras, makanya jangan sekali-kali lupa atau sok tidak ingat bahwa pada hakikatnya kita akan kembali berbaur dengan realitas masyarakat di sekitar kita yang nantinya masyarakat akan menanti konstribusi kita dalam melakukan perubahan. Kita harus yakin bahwa berjuang demi orang banyak adalah kemuliaan!. Ingat, mahasiswa memiliki kewajiban menerjemahkan pengetahuan teoretis yang mereka peroleh di universitas, ke dalam kritik-kritik yang radikal terhadap keadaan masyarakat sekarang dan tentunya relevan dengan mayoritas penduduk. Oleh karena itu, janganlah kita pura-pura menutup mata dan sok tidak merasakan ketimpangan yang ada. Atau bahkan tidak mau peduli dengan urusan pemerintahan yang semakin hari semakin bobrok dan berkata; ”itu bukan urusan kita!”, ”biarkan mereka menikmatinya”, dan lain sebagainya.
Nampaknya tidak ada pilihan lain untuk tidak melakukan perubahan yang progresif mengenai konstruk berfikir dalam diri kita agar pergerakan mahasiswa tetap eksis dan menyejarah dalam pergulatan zaman. Ya, progresifitas yang saya maksud adalah suatu gerakan produktif yang tak berhenti untuk berkarya, gerakan yang terus bergulat, menalar dan berdialektika dengan realitas. Yang selalu dalam keadaan resah, tidak puas dengan yang ada, senantiasa menggali hal yang lebih benar atas kebenaran yang sudah tersedia.
Manakala kita telah berhenti mencari dan bertanya, sudah puas dengan apa yang telah ada, tidak mengkritik terhadap kebekuan yang mentradisi, telah berhenti gelisah dan resah, sudah tidak ada lagi gejolak juga pergolakan wacana ditubuhnya, tak ada lagi benturan ide dan konflik yang bermain didalamnya. Maka yakin, pergerakan kita telah berhenti menjadi gerakan progresif.
Semoga cinta dan ridho Allah SWT hanya diperuntukkan bagi hamba-hambanya yang senantiasa rindu perubahan “ Semoga !!!”.

Nuun Wal Qolami Wa Maa Yasthuruun
Nuun, demi pena dan segala yang dituliskannya

Nuruda’wah Muhammadiyah, 29 Oktober 2007
*) Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pend. Fisika
Universitas Muhammadiyah Makassar Angkatan 2007